Densus 88 sering bertindak represif ketika menangani terduga teroris. Kasus teranyar adalah yang menimpa terduga teroris Nudin di Poso, Sulawesi Tengah. Nudin tewas ditembak Densus setelah motor yang dia kendarai ditabrak dengan mobil dan lalu dihujani tembakan.
Menurut pengamat teroris Al Chaidar, cara penanganan terduga teroris yang dilakukan oleh aparat kepolisian terkesan pesanan dari asing.
"Saya dapat kesan, gaya koboi itu untuk melayani pesanan pihak asing yang selama ini selalu mengatakan Indonesia tidak serius memerangi teroris," ujar Al Chaidar saat berbincang dengan merdeka.com, Selasa (11/6).
Menurut Chaidar, selama ini asing selalu menyebut bahwa pemerintah Indonesia tidak serius dalam menangani terorisme. Karena tudingan itu pemerintah melalui aparatnya terkesan ingin show up ketika mengungkap kasus teroris.
"Ada kesan polisi ingin show up soal penanganan teroris ke negara luar, padahal tidak harus seperti itu. Menggunakan cara represif seperti itu juga menyebar kebencian dan menimbulkan konflik lagi. Polisi atau Densus harusnya profesional," terangnya.
Polisi pun diminta lebih mengedepankan profesionalitasnya dibanding sentimen atau pesanan bila menangani persoalan teroris. Cara-cara represif dalam menangani teroris hanya akan menebar kebencian yang mendalam kepada keluarga dan masyarakat kepada polisi.
"Dengan adanya demo warga di Mapolres Poso itu bukti kalau cara-cara represif atau koboi itu tidak didukung oleh masyarakat. Polisi harusnya bisa menyadari itu," imbuhnya.
Sebelumnya diberitakan warga Poso menyambangi Kantor Mapolres Poso, Sulteng. Mereka meminta polisi mengembalikan jenazah Nudin, terduga teroris yang ditembak mati oleh Densus. Warga juga menyayangkan cara polisi yang langsung main tembak tersebut.
Selain itu kronologis penembakan yang menewaskan Nudin itu berbeda antara versi kepolisian dan Komnas HAM yang bersumber dari keterangan saksi dan warga sekitar. Lalu benarkan cara-cara represif yang dilakukan tersebut demi memenuhi pesanan asing?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar