Bagi negara berkembang seperti Indonesia, kebutuhan akan sarana dan prasarana publik memiliki peran penting. Di saat ekonomi tumbuh tinggi, mesin penggerak ekonomi pun bergerak cepat. Akses transportasi menjadi salah satu faktor penopang pergerakan ekonomi dalam negeri.
Tingginya aktivitas masyarakat menjalankan roda perekonomian, membutuhkan dukungan ketersediaan sarana dan prasarana. Salah satunya adalah sarana transportasi. Tentunya sarana transportasi yang berkualitas.
Untuk mendapatkan alat transportasi yang berkualitas, pemerintah melalui perusahaan negara, lebih sering mendatangkan dari negara lain yang sudah cukup mahir dalam memproduksi sarana transportasi. Khususnya transportasi massal.
Walaupun bekas, pemerintah tidak pernah mempermasalahkannya. Padahal, ada perusahaan dalam negeri yang bisa memproduksi sarana transportasi yang dibutuhkan. Istilahnya adalah karya anak bangsa.
Prioritas untuk menggunakan karya anak bangsa atau produk dalam negeri selalu dilontarkan oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan. Bahkan, beberapa kali Dahlan membanggakan hasil karya anak bangsa di bidang transportasi dan teknologi.
Sebut saja mobil listrik Ahmadi hingga Tucuxi yang merupakan buah pemikiran anak bangsa. Atau monorail made in Depok yang sempat digadang-gadang menjadi transportasi massal bagi Indonesia di kemudian hari.
Tapi kenyataannya jauh panggang dari api. Dahlan lebih memilih mendatangkan sarana transportasi massal buatan luar negeri. Sekali lagi, walaupun bekas tidak masalah.
Sudah banyak alat transportasi bekas dari negara lain yang dibeli dan digunakan oleh Indonesia. Negara ini pun sudah seperti gudang barang bekas. Merdeka.com mencoba merangkum beberapa alat transportasi bekas negara lain yang dibeli oleh Indonesia.
1. Kapal mewah bekas Inggris
Dahlan Iskan sumringah ketika ASDP membeli sebuah kapal mewah bekas dari Inggris. Kemarin, kapal tersebut sudah merapat di Pelabuhan Merak, Banten dan sempat berlayar menuju Pelabuhan Bakauheni.
Kapal milik ASDP ini cukup besar dengan panjang mencapai sekitar 130 meter. Di belakang kapal tertulis tulisan PORT LINK, Jakarta, IMO 7910917. Di bagian tengah kapal tertulis tulisan warna merah yang cukup besar yaitu "We bridge the nation".
Dari informasi yang diperoleh merdeka.com, kapal ini bisa mengangkut sekitar 1.000 penumpang yang terdiri dari 8 lantai. Kapal ini disebut juga dapat mengangkut sekitar 300 kendaraan.
Apa alasan Dahlan membeli kapal bekas dan tidak menggunakan kapal buatan anak bangsa? Jika menggunakan kapal buatan Indonesia maka harus menunggu 3 tahun untuk pembuatannya. Walaupun berlabel bekas, namun dari sisi kualitas diakui Dahlan cukup baik.
"ASDP mau beli sekaligus membeli yang baik. Kalau membangun kapal sendiri butuh 2-3 tahun," ucap Dahlan di atas kapal KMP PORT-LINK yang tengah berlayar menuju Bakauheni, Senin (10/6).
2. Kereta bekas dari Jepang
PT Industri Kereta Api (INKA) sudah mampu memproduksi kereta listrik (KRL) untuk kebutuhan angkutan umum Jabodetabek. Namun PT KAI selaku operator jalur commuter line dua tahun ini lebih memilih mendatangkan kereta bekas dari Jepang.
Direktur Utama INKA Agus Purnomo memaklumi pilihan PT KAI yang memilih impor kereta bekas ketimbang membeli kereta dari INKA. Sebab, pemerintah mewajibkan operator layanan kereta menetapkan batas maksimal harga tiket.
Karena harus murah, maka KAI pasti lebih suka bila biaya pengadaan kereta baru terjangkau untuk menutup kebutuhan operasional.
"Harga satu KRL bisa USD 1 juta satu gerbong, di luar negeri seperti Jepang KRL baru malah USD 1,8 juta. Tapi tarifnya diatur pemerintah, tidak boleh tinggi, sehingga yang saya tahu, bagaimana investasi ini kembali sehingga kalau beli baru tidak balik duitnya," ungkap Agus di Kantor Pusat KAI, Madiun, beberapa waktu lalu.
3. Pesawat bekas dari China
Awal Januari tahun ini, PT Merpati Nusantara Airlines sempat melontarkan wacana akan mendatangkan tiga unit pesawat tipe Airbus A320 bekas dari China. Pengadaan pesawat ini merupakan bagian dari 20 pesawat A320 yang didatangkan perseroan sepanjang tahun ini.
Untuk tahap pertama, tiga pesawat dulu yang didatangkan, tidak sekaligus, jelas Direktur Operasi Merpati Asep Ekanugraha beberapa waktu lalu.
Sebelum Merpati, pada akhir 2011, maskapai penerbangan Sriwijaya Air membeli 12 pesawat bekas jenis Boeing B737-500 senilai USD 84 juta.
"Itu pesawat bekas untuk menggantikan 12 pesawat Boeing B727-200 yang akan kami phase out (singkirkan). Selain membeli 12 pesawat bekas Boeing B737-200, Sriwijaya Air juga akan menyewa 5 pesawat Boeing B737-800NG pada Mei 2011 sebagai talangan (bridging) untuk pengadaan 20 pesawat Boeing B737-800NG yang baru akan datang pada 2014, ujar Direktur Niaga Sriwijaya Air Toto Nurstayo kala itu.
4. Monorail bekas China
Awal Februari 2012, pihak pengembang monorail DKI Jakarta, PT Jakarta Monorail mengungkapkan ketertarikannya pada produk buatan Chongqing China. Bukannya memilih menggunakan produk buatan dalam negeri, operator monorail Jakarta itu justru kepincut kereta bekas dari China.
Di sisi lain, Dahlan memamerkan monorail hasil karya perusahaan lokal. PT INKA meluncurkan produk percontohan monorail Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) dan Monorel kontainer Konsorsium BUMN dan PT Adikarya untuk beton cor monorail.
5. Pesawat Amfibi bekas Selandia Baru
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengapresiasi rencana kerja sama Indonesia dengan Selandia Baru. Dia berharap, kerja sama itu akan fokus pada sektor teknologi, karena negara tetangga Australia itu banyak menguasai teknologi penerbangan.
Selandia Baru mengklaim telah memproduksi 1.000 pesawat dan mengekspornya ke 80 negara di dunia. Oleh karena itu, Wamendag berharap Indonesia dapat menikmati hasil karya kedirgantaraan mereka, khususnya pesawat amfibi yang dapat digunakan di Tanah Air dengan kondisi geografis kepulauan.
"Saya berharap kita bisa kerjasama dengan Selandia Baru, antara lain misalnya pesawat amfibi. Pesawat yang bisa mendarat di air karena kita kepulauan," kata Bayu di hotel Mandarin Oriental, Jakarta, Senin (20/5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar