Rabu, 01 Mei 2013

Warga Desa Trunyan Tak Pernah Mengubur Jenazah

TAMORANEWS.COM - Tengkorak berceceran di Kuburan Trunyan, Kabupaten Bangli, Bali. Berbeda dengan tradisi pemakaman pada umumnya, mayat-mayat di sini tak ada yang dikubur. Meski dibiarkan begitu saja di atas tanah, tak ada bau bangkai yang tercium.


Legenda dan tradisi bermain di sini. Kuburan Trunyan yang berada di sisi timur Danau Batur memang disebut-sebut sebagai kuburan paling ngeri di Indonesia. Betapa tidak, wisatawan bisa melihat deretan tengkorak yang tercecer di banyak tempat.

Mengintip deretan ancak saji (penutup jenazah), kita bisa melihat sisa rambut atau pakaian si jenazah. detikTravel pernah berkunjung ke tempat ini beberapa waktu lalu.

Adalah Taru Menyan alias Pohon Wangi, pohon yang disingkat menjadi nama Trunyan. Pohon besar inilah yang konon menghasilkan aroma semerbak, menghilangkan bau bangkai di udara. Menurut legenda, Taru Menyan-lah yang wanginya menghipnosis 4 bersaudara dari Keraton Surakarta untuk mengarungi daratan dan lautan hingga tiba di Desa Trunyan.

Singkat cerita, 4 bersaudara itu terdiri dari 4 laki-laki dan si bungsu perempuan. Setibanya di Trunyan sang kakak sulung jatuh cinta kepada Dewi penunggu pohon tersebut. Setelah menikah, jadilah Trunyan sebuah kerajaan kecil. Meski sang Dewi penunggu pohon telah menikah, Taru Menyan masih mengeluarkan wangi.


Akibat takut diserang dari luar karena semerbak wanginya, sang Raja memerintahkan warga untuk menghapus wangi itu dengan cara meletakkan jenazah begitu saja, di atas tanah.

Beberapa bulan lalu, saat saya menyambangi kuburan itu di sela-sela liputan Festival Danau Batur, Pohon Taru Menyan masih berdiri gagah. Akar-akar besarnya menyulur ke berbagai tempat, termasuk deretan ancak saji berisi jenazah dan benda-benda peninggalan sang empunya. Ada piring, foto berpigura, sapu tangan, baju, perhiasan, dan lain-lain.

Waktu itu saya ditemani I Wayan Asli, seorang warga Desa Trunyan. Ia tahu betul seluk-beluk kuburan ini, dari legenda sampai tradisinya. Sambil berkeliling melihat tengkorak yang 'tercecer' di sana-sini, pria bertubuh kekar itu bercerita. Tradisi membiarkan jenazah tanpa dikubur ini sudah ada ratusan tahun lamanya. Tapi bukan berarti tanpa prosesi.


"Mayatnya harus utuh dan meninggal secara normal, tak ada luka seperti mayat kecelakaan. Layak atau tidaknya jenazah disimpan di sini juga ditentukan baik atau buruknya orang itu semasa hidup," tutur I Wayan Asli.

Saat mengantar jenazah ke Kuburan Trunyan, wanita tak boleh ikut. Sebelum menaruh mayat di atas tanah, ancak saji yang paling pinggir digeser tulang-tulangnya. Tengkorak ditaruh di sembarang tempat, tulang-tulang berserakan di atas tanah. Anjak saji kosong itulah yang kemudian ditukar 'isinya' dengan jenazah yang baru meninggal.

"Jumlah kuburan yang tertutup 'ancak saji' hanya 11. Kalau sudah penuh ya digeser (tulang-tulang) yang paling tua," tambah I Wayan.

Di kuburan ini, aura mistis selalu menemani setiap saya melangkahkan kaki. Undakan-undakan dari batu dan tanah mengantar saya menuju beberapa titik lain yang penuh tulang selain ancak saji. Tengkorak berderet di salah satu sisi, seperti memandang kosong ke udara.

Meski menyeramkan, tak sedikit wisatawan yang penasaran dan ingin melihat sendiri Kuburan Trunyan. Mencapai tempat ini juga tergolong gampang. Anda bisa menyewa perahu dari Dermaga Kedisan di salah satu sisi Danau Batur, langsung menuju Kuburan Trunyan. Harga per perahunya mulai Rp 50.000-100.000, dengan waktu tempuh sekitar 30 menit sekali jalan. Perahu ini bisa membawa sampai 5 wisatawan sekali jalan.

Sampai detik terakhir saya menyusuri Kuburan Trunyan, hidung ini tak mencium sedikit pun bau bangkai. Saat kapal beranjak dari Dermaga Kuburan Trunyan, I Wayan Asli masih lanjut bercerita.

"Inilah yang diperintahkan sang Raja waktu itu. Untuk menghilangkan bau semerbak, jenazah orang Trunyan dibiarkan saja membusuk di tanah sini. Nggak tercium bau apa-apa kan? Bau harum dan busuk konon sudah menyatu di sini," bisiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar