Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis 36 calon anggota legislatif yang diragukan komitmennya terhadap upaya pemberantasan korupsi. Salah satu dari 36 calon anggota legislatif itu, adalah dari fraksi partai Hanura, Syarifudin Suding.
Menurut Ketua Dewan Pertimbangan Partai Hanura, Hary Tanoesoedibjo, sebenarnya, kadernya itu tak sama dengan 35 caleg lainnya. Sebab, sikap Suding justru bertujuan menguatkan Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan cara merevisi Undang-Undang KPK.
"Beliau (Suding) ingin meluruskan aturan-aturan yang seharusnya diluruskan. (Undang-Undang) KPK itu bagus, tetapi ada yang perlu diperbaiki," kata Harry Tanoe di Hotel Mercure, Jakarta Pusat, Minggu 30 Juni 2013.
Misalnya saja, kata dia, seharusnya, dalam Undang-Undang KPK, tidak perlu diatur larangan mengeluarkan surat pemberitahuan pemberhentian penyidikan (SP3).
"Namanya juga orang, bisa saja keliru. Tetapi dengan adanya larangan SP3, orang yang tidak bersalah harus dihukum. Kan kasihan," ujar dia.
Selain KPK, partainya juga memperjuangkan penguatan kejaksaan dan kepolisian. "Hanura selalu ingin melakukan suatu pemikiran baru, yang tidak statis, tetapi ini supaya ada selalu perubahan-perubahan untuk kebaikan. Ini (masalah Suding) dalam konteks perbaikan, tetapi ada miskomunikasi, sehingga ada anggota kami yang disalah kira," ujar dia.
Untuk itu, kata Harry, dalam pembekalan para calegnya, partainya juga ingin mengundang ICW untuk dilakukan pembekalan anti korupsi.
Kemarin, dalam rilisnya, ICW menyebut 36 caleg yang dianggap tidak pro terhadap pemberantasan korupsi. Salah satunya adalah anggota Komisi III Bidang Hukum dari fraksi Hanura, Syarifudin Suding. Suding, dianggap tak pro anti korupsi, karena ingin merevisi UU KPK.
Setidaknya ada lima kategori yang digunakan ICW untuk merangkum daftar caleg yang terindikasi lemah komitmennya pada pemberantasan korupsi. Kelima indikator itu yaitu, politisi yang namanya pernah disebut dalam keterangan saksi atau dakwaan JPU terlibat serta atau turut menerima sejumlah uang dalam sebuah kasus korupsi, politisi bekas terpidana kasus korupsi.
Tak hanya itu, indikator lainnya, adalah politis yang pernah dijatuhi sanksi atau terbukti melanggar etika dalam pemeriksaan oleh Badan Kehormatan DPR, politisi yang mengeluarkan pernyataan di media yang tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi, dan politisi yang mendukung upaya revisi UU KPK yang berpotensi memangkas dan melemahkan kewenangan komisi anti rasuah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar