Inilah nama sejumlah jalan di Jakarta yang diambil dari nama Jawara Betawi. Misalnya nama Jalan Haji Darip di Daerah Klender menuju Bekasi dan Jalan Sabeni di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Jawara Betawi bisa disebut jagoan, ahli atau pendekar silat.
Dengan kemampuan silatnya itu, seorang Jawara disegani kawan ataupun lawan. Misalnya nama Haji Darip dan Sabeni. Haji Darip, jagoan asal Klender kelahiran tahun 1900. Dia putra pemimpin gerombolan yang terkenal, Gempur.
Dia dimitoskan punya jimat kekebalan dan pandai merekrut penjahat untuk menjadi pengikutnya. Darip bersama gerombolan kawanya melawan pemerintah kolonial Belanda.
Sementara itu, Sabeni, jawara asal Betawi kelahiran Kuburanlama, Tenabang tahun 1865 lalu disegani karena kemampuan silatnya. Pemerintah kolonial Belanda kono dibuat kerepotan dengan ulah Sabeni.
Begitu juga pemerintah Jepang ketika menduduki Batavia. Ulah Sabeni rupanya juga membuat geram pemerintah Jepang saat pendudukan kala itu. Karena keberanian mereka, warga Jakarta menjadikan nama keduanya sebagai nama jalan.
Sebetulnya bukan hanya dua nama itu, tetapi ada dua nama jawara lagi yang juga diabadikan sebagai nama jalan karena jasa dan keunggulan mereka di bidang seni bela diri, misal nama Jalan Haji Murtado di Koja, Jakarta Utara dan Jalan Haji Entong Gendut yang kini di ganti Jalan Anyaman.
1. Haji Darip
Siapa tidak kenal Haji Darip. Bagi warga Betawi dia disebut sebagai jagoan, jawara, plus pahlawan perjuangan. Tapi bagi pemerintah kolonial waktu itu, dia dikenal sebagai bandit. Darib dengan gerombolanya mengusik ketenangan pemerintahan Batavia.
Robert Cribb menyingkap heroisme kaum bandit yang bersatu melawan penjajah Belanda untuk mempertahankan Proklamasi 1945. Gerombolan bandit Jakarta sepakat bergabung dalam Lasykar Rakyat Jakarta Raya (LRJR), walau ada juga yang mengabdi pada penjajah Belanda dalam pasukan HAMOT (Hare Majesteits Ongeregelde Troepen).
Gembong-gembong bandit pada saat itu turut berjuang, baik dalam LRJR maupun organisasi perjuangan lainnya. Imam Syafe'fi alias Bang Pi'fie, gembong jawara di kawasan Senen, misalnya. Aksi kriminalnya membuat dia kaya raya dan menjadi tuan tanah. Ia sempat menjadi Menteri Keamanan Rakyat pada Kabinet 100 Menteri di zaman Bung Karno. Bang Pi'fie wafat pada 1982.
Lain halnya dengan Haji Darip, jagoan asal Klender kelahiran tahun 1900. Dia putra pemimpin gerombolan yang terkenal, Gempur. Darip dimitoskan punya jimat kekebalan dan pandai merekrut penjahat untuk menjadi pengikutnya. Haji Darip pernah memimpin pemogokan buruh kereta api pada 1923.
Wilayah kekuasaan Darip (perdikan) membentang dari Klender hingga Pulogadung; dari Jatinegara sampai Bekasi. Setiap orang Cina, Eurasia, bahkan Eropa, jika melewati wilayah kekuasaannya, pasti dijarah serta harus berteriak "merdeka!" dan wajib membayar 2 gulden. Kawanan bandit yang "patriotis" itu juga melakukan aksi teror secara sporadis.
Pada 19 Oktober 1945, sebanyak 68 orang serdadu Angkatan Laut Jepang dibantai di Bekasi dalam perjalanan mereka ke Penjara Ciater. Pada 23 November 1945, sekelompok tentara Belanda dan Inggris tewas dihajar kawanan bandit Bekasi. Untuk mengenang Darip, kini ada sebuah nama Jalan Haji Darip di daerah Klender.
2. Jalan Sabeni
Saat ini mungkin sedikit orang mengenal nama Sabeni. Dia jagoan silat asal Betawi kelahiran Kuburanlama, Tenabang tahun 1865 lalu. Tak hanya pemerintah kolonial Belanda saja yang dibuat repot dengan aksi Sabeni. Saat Jepang menduduki Batavia, ulah Sabeni rupanya juga membuat geram pemerintah Jepang.
Sabeni dikenal gigih menentang perlawanan kolonial dan telah mengharumkan wilayahnya serta mengangkat harkat martabat warga Tenabang, sebelum menjadi Tanahabang kala itu. Kini nama Sabeni akhirnya digunakan sebagai nama sebuah jalan yang membujur dari depan rumahnya di sekitar Jalan KH Mas Mansyur, Tanahabang hingga saat ini.
Konon cerita tutur yang beredar di tengah-tengah masyarakat disebutkan, sosok Sabeni merupakan sosok yang rendah hati. Demi memajukan kawasan Tenabang, waktu itu, Sabeni mengajarkan ilmu silat kepada pemuda sekitar. Kegiatan ini pun membuat pemerintah kolonial Belanda cemas dan merasa terancam dengan kehadiran Sabeni.
Hingga akhirnya kegiatan mengajarkan ilmu silat Sabeni pun sempat dilarang. Tak cukup di situ, kemampuan ilmu silat yang dikuasi Sabeni rupanya pernah dijajal tentara Jepang menduduki Indonesia. Dengan jurus andalannya, tentara Jepang dibuat tak berdaya dan terkapar.
Apa yang dilakukan Sabeni terhadap tentara Jepang ini mengharumkan namanya. Hingga saat wafat, nama Sabeni akhirnya diabadikan menjadi sebuah nama jalan di daerah Tanahabang, Jakarta Pusat.
3. Jalan H Murtadho
Haji Murtadho hidup pada masa penjajahan kolonial Belanda. Dia anak mantan lurah Kemayoran, dan tinggal di sana hingga dewasa. Murtadho adalah anak yang baik. Ia suka menolong orang yang membutuhkan.
Dengan sifat rendah hati dan suka menolong itu, maka Murtadho disenangi penduduk di kampung tersebut. Selain itu, dia juga disebut jago ilmu bela diri, hingga menjadi seorang jagoan yang rendah hati.
Al kisah, konon muncul gerombolan perampok di bawah pimpinan Warsa. Gerombolan ini mulai mengganas di Kemayoran. Setiap malam mereka merampas harta benda penduduk. Kadang-kadang juga melakukan pembunuhan. Murtado turut meredam aksi gerombolan itu.
Bersama dua orang temanya, Saomin dan Sarpin, Murtadho mencari markas perampok itu di daerah Tambun dan Bekasi, tetapi tidak ketemu. Kemudian mereka pergi ke daerah Kerawang. Di sana gerombolan Warsa dapat dikalahkan. Warsa mati dalam perkelahian itu.
Semua rakyat di daerah Kemayoran berterima kasih dan merasa berhutang budi kepada Murtado. Penguasa Belanda pun sangat menghargai jasa-jasa Murtado. Kini nama jawara berjuluk Macan Kemayoran itu diabadikan menjadi nama sebuah Jalan.
4. Entong Gendut
Entong si jagoan (jawara) dari Condet. Terkenal amat teguh memegang prinsip, pernah ada tawaran dari Belanda untuk menjadi raja muda di Condet tetapi ditolak. Aksi Entong membuat Belanda geram hingga meletuslah perang Condet.
Dia gugur ditembak peluru Kompeni, ketika melakukan penyerbuan ke rumah tuan tanah di Kampung Gedong. Untuk mengenang jasa Entong, nama jagoan Condet ini pernah diabadikan menjadi nama sebuah jalan. Namun dalam perkembangan diganti menjadi Jl. Ayaman, nama seorang tuan tanah yang pernah tinggal di tempat tersebut.
Semasa hidup dia telah mengerjakan ibadah haji, maka nama lengkapnya Haji Entong Gendut. Menurut berbagai sumber, pada masa penjajahan Belanda rakyat Condet hidup dalam tekanan pihak Kompeni dan para tuan-tuan tanah yang bermarkas di Kampung Gedang. Seluruh tanah Condet (bahkan sampai di Tanjung Timur dan Tanjung Barat) dikuasai oleh tuan tanah.
Rakyat diwajibkan membayar pajak, yang ditagih oleh para mandor dan centeng tuan tanah. Pajak (blasting) sebesar 25 sen yang harus dibayarkan setiap minggu dinilai sangat berat oleh rakyat, karena harga beras masa itu hanya sekitar 4 sen per kilogram. Apabila ada penduduk belum membayar blasting, maka merek dihukum kerja paksa mencangkul sawah.
Menyaksikan semua penderitaan rakyat itulah, timbul kemarahan dalam diri Tong Gendut. Ia kumpulkan seluruh rakyat Condet dan mengibarkan panji perang melawan Kompeni. Pada tanggal 5 April 1916 berkabarlah perang di Landhuis (dikenal sebagai villa Nova) yang ditempati Lady Lollison dan para centengnya.
Entong Gendut bersama sekitar 30 pemuda Condet menyerbu, namun setelah datang bala bantuan dari Batavia pemberontakan tersebut dapat dipadamkan. Entong Gendut meninggal tertembus peluru Kompeni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar