Bisnis PT Dirgantara Indonesia (DI) kembali menggeliat. Kementerian Perindustrian menyebutkan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sempat hampir bangkrut itu kini mendapat banyak pesanan suku cadang, maupun pesawat dari luar negeri.
Menteri Perindustrian, MS Hidayat, berjanji memberi dukungan penuh dalam pengembangan kinerja PT DI di tengah banjir order saat ini. Hidayat juga mendengar BUMN yang berlokasi di Bandung ini tengah mengembangkan pesawat kapasitas 19 penumpang berkode N 219.
Kemenperin bakal mendukung risetnya melalui skema pendanaan Badan Pengembangan dan Pengkajian Teknologi (BPPT). "Kita bekerja sama dengan BPPT mengajukan anggaran kepada pemerintah dan disalurkan nantinya oleh BPPT," ungkap Hidayat.
Tahun lalu, PT DI mendapatkan kontrak pembuatan sayap pesawat dan helikopter. Perusahaan pelat merah itu juga menjual komponen dan menawarkan jasa perbaikan pesawat dengan memberi pemasukan Rp 2,9 triliun.
Soal bantuan dana ke PT DI, Hidayat enggan mengungkapkan besarannya. "Tidak bisa saya buka, takut meleset," katanya.
Indonesia bisa dibilang bukan pemain baru dalam industri produksi pesawat terbang. Melalui PT DI, putra putri bangsa telah mengembangkan dan memproduksi beberapa burung besi ini.
Pesawat angkut komersil maupun militer berkecepatan rendah hingga sedang telah berhasil ditelurkan oleh insinyur kita. Saat ini pun pemerintah tengah bekerjasama dengan Pemerintah Korea Selatan untuk mengembangkan pesawat tempur atau pesawat dengan kecepatan tinggi.
Pesawat jet tempur KFX milik Korsel akan menjadi subjek pengembangan. Alih teknologi menjadi tujuan dari kerjasama ini.
Diharapkan di kemudian hari Indonesia mampu memproduksi pesawat tempur sendiri. Kerjasama ini dimulai pada 2010 dan diperkirakan pada 2020 sudah ada regenerasi pesawat tempur untuk kedua pihak.
Untuk saat ini, merdeka.com mencoba mengulas beberapa pesawat terbang angkut terlebih dahulu yang berhasil diproduksi oleh anak Indonesia.
1. Pesawat N-2130
Pesawat ini merupakan hasil asli PT DI. Pesawat ini berkapasitas 80 sampai 130 penumpang dengan jeroan jet komuter. Menggunakan kode N yang berarti Nusantara menunjukkan bahwa desain, produksi dan perhitungannya dikerjakan di Indonesia.
Dahulu, Presiden Soeharto berencana menjadikan proyek N-2130 sebagai proyek nasional. Perusahaan PT Dua Satu Tiga Puluh (PT DSTP) dibentuk untuk melaksanakan proyek besar ini.
Saat badai krisis moneter 1997 menerpa Indonesia proyek ini mulai limbung. Setahun kemudian akibat adanya ketidakstabilan politik dan penyimpangan pendanaan, mayoritas pemegang saham melalui RUPSLB (Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa) meminta PT DSTP untuk melikuidasi diri.
Imbasnya proyek N-2130 menjadi terbengkalai. Pasalnya, pemerintah harus menghentikan bantuan kepada PT DI sebagai bagian kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (IMF).
Untuk preliminary design atau disain awal pesawat ini, PT DI telah mengeluarkan dana lebih dari USD 70 juta. Sesuai keputusan RUPSLB, dana bagi ini selanjutnya dianggap sunk-cost.
Pesawat ini mirip dengan pesawat terbang yang dikembangkan perusahaan Brasil, Embraer. Namun ketika Embraer sekarang ini menghasilkan pesawat Embraer Regional Jet (ERJ) yang banyak digunakan perusahaan penerbangan Amerika Serikat (AS), terutama untuk shuttle flight pada jalur-jalur padat Boston, New York, Washington DC, dan Miami justru N-2130 terseok-seok pengembangannya.
2. Pesawat N-250
N-250 adalah pesawat regional komuter turboprop rancangan asli PT Dirgantara Indonesia (DI). Pesawat ini diberi nama gatotkoco (Gatotkaca).
Prototipe pesawat N250 pernah terbang menuju Le Bourget Perancis untuk mengikuti Paris Air Show. Penampilan perdana pesawat N250 tersebut mengejutkan para produsen pesaingnya karena merupakan pesawat yang menggunakan teknologi fly by wire yang pertama di kelasnya.
Pesawat ini merupakan primadona PT DI dalam usaha merebut pasar di kelas 50 sampai 70 penumpang. Pesawat ini dihentikan produksinya setelah krisis ekonomi 1997.
Rencananya program N-250 akan dibangun kembali oleh B.J. Habibie setelah mendapatkan persetujuan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan perubahan di Indonesia yang dianggap demokratis.
B.J. Habibie melihat penghidupan kembali produksi pesawat itu berpotensi untuk berkembang karena salah satu pesawat saingannya Fokker F-50 sudah tidak diproduksi lagi karena perusahaan industrinya, Fokker Aviation di Belanda dinyatakan gulung tikar pada tahun 1996.
Pesawat ini menggunakan mesin turboprop 2439 KW dari Allison AE 2100 C buatan perusahaan Allison. Pesawat berbaling baling 6 bilah ini mampu terbang dengan kecepatan maksimal 610 km/jam (330 mil/jam) dan kecepatan ekonomis 555 km/jam yang merupakan kecepatan tertinggi di kelas turboprop 50 penumpang. Ketinggian operasi 25.000 kaki (7620 meter) dengan daya jelajah 1480 km.
3. Pesawat CN-235
CN-235 adalah sebuah pesawat angkut jarak sedang dengan mesin turboprop kelas menengah bermesin dua. Pesawat ini dirancang bersama antara PT DI dan CASA Spanyol sebagai pesawat terbang regional dan angkut militer.
Kerja sama kedua negara dimulai sejak tahun 1980 dan purwarupa milik Spanyol pertama kali terbang pada tanggal 11 November 1983, sedangkan purwarupa milik Indonesia terbang pertama kali pada tanggal 30 Desember 1983. Produksi di kedua negara di mulai pada tanggal Desember 1986.
Beberapa versi militer CN 235 banyak diminati dan diekspor ke negara lain. Tercatat 22 negara menjadi tujuan ekspor pesawat ini. Negara tersebut di antaranya Amerika Serikat, Arab Saudi, Korea Selatan, Malaysia, Prancis, Spanyol, Turki dan masih banyak lagi.
Australia, Singapura dan Malaysia diam-diam terpukau pada kehebatan insinyur Tanah Air dan mulai mencermati pengembangan pesawat ini lebih jauh dari CN 235 MPA (Maritime Patrol Aircraft) atau versi Militer.
Turki dan Korsel adalah pemakai setia CN 235 MPA terutama versi militer sebagai yang terbaik di kelasnya di dunia. Inovasi 40 insinyur-insinyur Indonesia pada CN 235 MPA ini adalah penambahan persenjataan lengkap seperti rudal dan teknologi radar yang dapat mendeteksi dan melumpuhkan kapal selam.
Pengembangan pesawat ini harus terhenti pada saat krisis moneter. Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) menilai pesawat ini terlalu mahal dan menyedot investasi.
4. Pesawat N-219
N-219 adalah pesawat generasi baru, yang dirancang oleh Dirgantara Indonesia (PT DI). N-219 menggabungkan teknologi sistem pesawat yang paling modern dan canggih dengan mencoba dan terbukti semua logam konstruksi pesawat terbang.
N-219 memiliki volume kabin terbesar di kelasnya dan pintu fleksibel efisiensi sistem yang akan digunakan dalam misi multi transportasi penumpang dan kargo. N-219 adalah pesawat multi fungsi bermesin dua. Pesawat ini terbuat dari logam dan dirancang untuk mengangkut penumpang maupun kargo.
Sebelum memasuki serial production, PT DI terlebih dahulu akan membuat dua unit purwarupa untuk uji terbang serta satu unit purwarupa untuk tes statis pada tahun 2012. Program pembuatan purwarupa sendiri direncanakan memakan waktu selama dua tahun dengan pengalokasian dana yang dibutuhkan sebesar Rp 300 miliar.
Spesifikasi pesawat N219 dirancang sesuai dengan kondisi geografis Indonesia. Pesawat ini mampu mendarat di landasan yang pendek sehingga bisa diaplikasikan di wilayah terpencil dengan lahan terbatas.
Pesawat N219 memiliki potensi besar untuk dipasarkan ke daerah-daerah seperti Sumatera dan Papua. Pesawat ini juga ditargetkan bisa dipasarkan ke negara lain yang masih membutuhkan, misalnya negara-negara di Afrika.
Pembuatan pesawat ini mengharuskan para pemerintah daerah yang akan menggunakan jasanya merogoh kocek sekitar Rp 1 triliun. Angka ini terbilang kecil untuk biaya pengembangan suatu pesawat.
5. Pesawat NC-212
NC-212 Aviocar adalah sebuah pesawat berukuran sedang bermesin turboprop yang dirancang dan diproduksi di Spanyol untuk kegunaan sipil dan militer. Pesawat jenis ini juga telah diproduksi di Indonesia di bawah lisensi oleh PT Dirgantara Indonesia (DI).
Pada Januari 2008, EADS CASA memutuskan untuk memindahkan seluruh fasilitas produksi C-212 ke PT DI di Bandung. PT DI adalah satu-satunya perusahaan pesawat yang mempunyai lisensi untuk membuat pesawat jenis ini di luar pabrik pembuat utamanya.
Pesawat Casa NC 212-200 yang digunakan dalam operasional hujan buatan dilengkapi dengan Weather Radar (Radar Cuaca) dan Global Positioning System (GPS). Ketika maskapai penerbangan sipil melihat keberhasilan tipe ini pada operasi militer, CASA membuat versi komersial sipil yang dikirim pertama kali pada bulan Juli 1975.
Sampai 2006 masih tercatat beberapa pesawat ini masih operasional di seluruh dunia termasuk Merpati Nusantara Airlines untuk jalur perintis di Timur Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar