Senin, 11 Februari 2013

Apa Yang Sebenarnya Terjadi di Burma

Karena banyaknya permintaan dan ada yang menuduh bahwa yang saya sampaikan dalam foto hoax pembantaian muslim tidak berimbang maka saya coba menjelaskan apa yang sejatinya terjadi di Burma, sehingga nantinya tidak timbul kesalahpahaman.

Keadaan Politik Burma

Burma adalah salah satu negara bekas jajahan Britania Raya dan merdeka pada tahun 1948. Sejak kemerdekaannya Burma menjadi salah satu satu negara yang dikenal tertutup terhadap dunia internasional, hal ini tidak lain adalah karena pemerintahan mereka dikuasai oleh militer junta selama puluhan tahun, negara-negara lain banyak yang kesal terhadap Burma sehingga mereka sempat memberlakukan bermacam-macam embargo.

Setelah memudarnya pengaruh rezim militer dan Burma mengalami krisis ekonomi yang hebat, negara ini mulai sadar pentingnya hubungan internasional dan mulai bersikap terbuka, salah satunya dengan bergabung bersama ASEAN pada 23 Juli 1997, dan mencoba menerapkan sistem demokrasi seperti halnya kebanyakan negara lain di dunia. Walau demikian tidak dipungkiri bahwa sisa-sisa pengaruh militer masih melekat di pemerintahan Burma, dan tokoh oposisi seperti Aung San Suu Kyi berusaha untuk meminimalisir pengaruh militer tersebut dengan sibuk mencari dukungan pihak luar.

Sebagaimana negara lain yang baru mengenal demokrasi, selalu saja ada oknum yang tidak rela rezim terdahulunya jatuh dan menerima sistem yang baru. Kebanyakan orang tipikal seperti ini adalah mereka yang fasis dan tidak menerima bahwa demokrasi akan akan memberikan ruang bagi minoritas untuk menyuarakan pendapat. Minoritas yang dimaksud tidak lain adalah Etnis Rohingya.

Siapa Etnis Rohingya?

Etnis Rohingya adalah etnis minoritas yang tinggal di Provinsi Rakhine (dulu bernama Arakan), Myanmar Barat, berbatasan dengan Bangladesh. Tidak jelas asal usul etnis ini, bahkan ketika anda melakukan pencarian di Google anda tidak akan menemukan banyak hasil. Ada catatan sejarah yang mengatakan bahwa etnis ini tidak pernah eksis sebelum tahun 1950, ada pula yang mengatakan bahwa etnis Rohingya sudah ada sejak zaman penjajahan Inggris tahun 1824[sumber], tapi apapun versi yang dikemukakan jelas bahwa etnis Rohingya bukanlah etnis asli dari Burma. Perawakan orang Rohingya sendiri lebih mirip orang Bengalis (Asia Selatan) seperti India dan Pakistan ketimbang orang Burma yang lebih mirip orang Asia Tenggara pada umumnya.

Diskriminasi Dari Pemerintah Burma

Burma merupakan negara dengan kaya entis, namun ada 8 etnis besar diantaranya adalah Kachin, Kayah, Kayin (Karen), Chin, Burma, Mon, Rakhine and Shan, sisanya adalah etnis minoritas. Diskriminasi pemerintah terhadap entis minoritas memang sangat kental, negara Burma sendiri merupakan nama perwakilan dari salah satu etnis dan berbagai perlawanan pernah diberikan oleh etnis lain.

Seiring berjalannya waktu berbagai etnis mulai diterima dan pemerintah sendiri juga mulai mengubah nama Burma menjadi Myanmar. Hanya satu etnis minoritas yang belum diterima yaitu Rohingya. Pemerintah setempat tetap ngotot mengatakan bahwa orang Rohingya bagian dari entis Bengalis dan merupakan penduduk ilegal yang datang pasca kemerdekaan Burma. Pendapat itu tidak hanya datang dari kalangan militer namun mayoritas penduduk Myanmar juga mengatakan demikian. Mungkin itu sebabnya Aung San Suu Kyi tidak berani berkomentar banyak mengenai ungkapan Presiden Myanmar saat ini yang ingin mengusir Rohingya dari Arakan (Provinsi Rakhine)

Perbedaan etnis membuat orang Rohingya mendapatkan perlakukan diskriminatif, mereka tidak mendapatkan hak kewarganegaraan dan dianggap sebagai ilmigran gelap (ilegal). Entis Rohingya sendiri sempat diperlakukan dengan keji semasa rezim militer berkuasa dan hal tersebut mendapat banyak kecaman dari dunia internasional.

Nasib Rohingya di Bangladesh

Masalah yang dialami oleh Etnis Rohingya tidak hanya dengan pemerintahan Burma, negara tetangga yang dianggap sebagai asal mula etnis Rohingya yaitu Bangladesh juga tidak mau mengakui mereka.

Saya tidak memiliki data apakah Rohingya juga ada di Bangladesh saat pendudukan Britania Raya atau mereka semua datang sebagai pengungsi dari Arakan (Burma) tapi yang jelas orang Rohingya termasuk pengungsi dari Burma telah ada sebelum kemerdekaan Bangladesh, karena Bangladesh adalah negara yang baru merdeka pada tahun 1971.

Setelah merdeka 7 tahun kemudian Bangladesh mendeklarasikan bahwa etnis Rohingya tidak dianggap sebagai warga negara, dan memilih untuk mengembalikan orang Rohingya ke Burma. Bangladesh yang masih berkembang tidak mau menanggung beban dari masuknya orang-orang Rohingya ke negara mereka sekalipun 89% dari penduduk Bangladesh adalah muslim. Orang Rohingya pun terlunta-lunta dan tidak jarang terdampar sampai ke perarian Indonesia karena tidak berani kembali ke Burma dan diusir oleh Bangladesh.

Konflik Burma 2012

Perlakukan yang diskriminatif dari pemerintah Burma dan ketidaksudian orang-orang Rakhine untuk menerima kehadiran Etnis Rohingya yang asal-usulnya dianggap tidak jelas, membuat kedua kubu saling menaruh kebencian, dan masalahnya adalah tidak pernah ada dialog untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Dalam psikologi hal seperti ini tida baik karena menyimpan permasalahan dalam waktu lama sampai menumpuk akan bisa menumbulkan konflik yang besar apabila ada pemicunya sedikit saja.

Pemicu konflik tersebut akhirnya benar-benar terjadi, seorang gadis Rakhine ditemukan terbunuh dengan mayat yang ditelantarkan secara keji, dan hasil visum menunjukan bahwa korban sebelumnya sempat diperkosa (yang kemudian diketahui aksi pemerkosaan tersebut direkam dalam video). Dari hasil penyelidikan yang dilakukan oleh polisi, diketahui bahwa pelaku pemerkosaan dan pembunuhan adalah 3 pemuda Rohingya dari Kyoukhtaran.



Mengetahui bahwa pelaku adalah dari Etnis Rohingya, orang-orang Rakhine kemudian membalas dendam dengan membunuh 10 orang dari etnis Rohingya yang sedang dalam perjalanan mengendari bus, ada sumber yang mengatakan bahwa 10 oran yang dibunuh itu dianggap terlibat dengan aksi pemerkosaan. Entis Rohingya pun membalas dengan membakar ribuan rumah etnis Rakhine hingga 100.000 orang Rakhine mengungsi. Konflik kemudian meluas hingga dan melebar karena provokasi beberapa oknum sehingga konflik etnis terkesan menjadi konflik agama, orang-orang dari Bangladesh pun kemudian mengirimkan ratusan orang untuk ikut turun kesana.

Konflik yang ada di Burma adalah kerusuhan massal antar etnis, bukan pembantaian secara sepihak seperti yang banyak digembar-gemborkan berbagai media. Korban jatuh dari kedua belah pihak dan jumlahnya tidak mencapai ribuan. Untuk mengetahui bagaimana alur perkembangan kasus kerusuhannya secara jelas anda bisa membacanya di Wikipedia (walaupun masih banyak perdebatan tapi setidaknya ini satu-satunya media yang menghimpun banyak sumber yang cukup netral).

Orang Rohingya Yang Tewas Terbunuh Sebagai Aksi Balas Dendam Yang Dilakukan Oleh Orang Rakhine

Salah Satu Perkampungan Rakhine Dibakar

Orang Rohingya Nampak Bersiap Melakukan Pembakaran


Benarkah Ada Genosida?

Sebelum bicara tentang genosida mari kita bicara pengertiannya terlebih dulu, genosida adalah pembersihan suatu komunitas masyarakat dengan melakukan pembunuhan secara besar-besaran. Yang dimaksud dengan komunitas bisa berupa suku atau entik, kelompok agama, atau kelompok idiologi tertentu.

Kembali ke topik permasalahan. Harusnya pertanyaan tersebut dikembalikan lagi, “Siapa yang dimaksud melakukan genosida?”

Jika yang dimaksud melakukan genosida adalah orang-orang Rakhine tentu harusnya yang dibunuh bukan hanya 10 orang dalam bus tapi seluruh orang Rohingya dan tentunya mereka akan bersiap-siap untuk melakukan “pembersihan etnis“. Faktanya orang Rakhine tidak meyangka akan datangnya balasan dari orang Rohingya sampai perkampungan mereka terbakar, jadi rasanya mereka jauh dari niat melakukan genosida.

Jika yang dimaksud melakukan genosida adalah pemerintah Myanmar tentu orang Rohingya dibunuh secara konsisten dan rasanya tidak terlalu sulit melakukan pembersihan jika pemerintah memang berniat membuat etnis ini punah, nyatanya pemerintah termasuk rezim junta yang kejam lebih memilih untuk memperlakukan mereka secara diskriminatif, artinya mereka lebih memilih untuk mengusir Rohingya untuk ke Bangladesh ketimbang melakukan genosida.

Konflik kemarin juga menunjukan bahwa pemerintah dan militer lebih memilih untuk mengamankan situasi ketimbang terlibat dalam terlalu jauh dalam konflik tersebut. Buktinya adalah polisi tidak memberondong orang-orang Rohingya dengan peluru tapi lebih memilih menggunakan tameng.


Jadi dari keterangan tersebut, saya pikir ungkapan genosida terlalu hiperbola (lebay) digunakan untuk kasus konflik yang terjadi di Myanmar. Penggunaan istilah seperti itu seakan-akan menunjukan bahwa apa yang terjadi di Burma sama persis dengan pembersihan entik yang dilakukan oleh Nazi pada Yahudi atau pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh Pemerintahan Militer Soeharto pada anggota PKI.

Benarkah Ada Keterlibatan Teroris?

Pihak Rakhine sejak awal konflik mengklaim secara sepihak bahwa Rohingya lah yang memulai pertikaian terlebih dahulu dan menganggap apa yang dilakukan Rohingya sebagai invasi dan aksi terorisme, hal itu dapat dilihat dari tulisan-tulisan opini orang Rakhine di berbagai media internasional seperti CNN. Yang mengejutkan, hal senada juga diungkapkan oleh salah satu media Bangladesh yang dengan cukup rinci menjelaskan alur rencana penyerangan yang menurut narasumber mereka, penyerangan tersebut telah dipersiapkan beberapa bulan sebelumnya.

Namun demikian pendapat ini perlu dikaji kembali karena sumbarnya hanya 2 yaitu klaim sepihak yang tentu tidak bisa dipercaya dan Samakal.net sebagai media Bangladesh yang belum saya ketahui bagaimana kredibilitasnya.

Benarkah Ada Keterlibatan Amerika?

Bukan hal yang baru jika Amerika sering terlibat behkan mendalangi konflik yang ada di suatu negara, tidak lupa bagaimana kasus G 30 S PKI yang setelah ditelaah kini terlihat sebagai propaganda Amerka yang tidak ingin Indonesia jatuh pada pengaruh komunis bersama Uni Soviet.

Dalam salah satu blog yang tidak terpercaya disebutkan bahwa bocoran dari wikileak menunjukan bahwa Amerika terlibat dalam konflik tersebut, dan lagi-lagi sumber daya alam menjadi alasannya.

Kesimpulan

Dari uraian tersebut bisa diketahui bahwa akar permasalah konflik tersebut bukanlah konflik agama, namun konflik etnis yang disebabkan tidak maunya pemerintah Burma mengakui orang-orang Rohingya sebagai warga negara, jelas ini adalah tindakan yang diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip pluralisme, sekalipun memang benar kenyataan bahwa Etnis Rohingya baru ada tahun 1950?an tidak lantas membuat mereka dipinggirkan, apalagi kalau keturunan mereka sudah beberapa generasi.

Yang menjadi pertanyaan, kenapa Burma dan Bangladesh tidak mau menerima etnis Rohingya? Seharusnya pihak Rohingya juga introspeksi diri kenapa ada 2 negara yang tidak mau mengakui mereka, apakah karena mereka tidak bisa berbaur dengan warga negara lain? Entahlah..

Yang jelas kita sebaiknya jangan terlalu ikut larut membawa nama agama dalam konflik ini, biarlah masalah ini diselesaikan oleh Burma, Bangladesh, dan Lembaga Internasional, sekalipun jika Indonesia ingin membantu, bantulah secara kenegaraan, bukan dengan mengirimkan orang-orang siap perang ke tempat konflik yang justru akan membuat ricuh kondisi yang sudah ada.

Kadang saya malu sebagai orang Indonesia, seringkali warga kita begitu kebakaran jenggot ketika ada pemberitaan bahwa warga negara lain dibantai, sekalipun beritanya belum jelas. Padahal Indonesia sendiri memiliki masalah yang tidak jauh berbeda. Belum lupa ingatan kita akan kasus pembunuhan ratusan ribu bahkan jutaan orang PKI, belum lupa bagaimana kasus tahun 98 yang dengan keji membunuh, menjarah, dan memperkosa etnis Tionghua yang bahkan hingga kini juga banyak belum mendapat KTP, belum lupa juga bagaimana kasus Sampit, Poso, dan Ambon, belum lupa bagaimana TKI kita diperkosa, dipancung, dan dibunuh dengan keji di luar sana, belum lupa juga kasus pembunuhan 3 orang penganut Ahmadiyah yang bahkan direkam dan diupload videonya di youtube.

Kita seperti sebuah negara yang tidak tahu diri, yang tidak mampu dan bungkam ketika melihat diskriminasi dan penganiayaan di negaranya sendiri, namun begitu reaktif atas kasus-kasus di luar yang bahkan negara sekitarnya lebih memilih untuk “menunggu” sampai ada kepastian berita.




>>> ( Tamora News - Sumber ) <<<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar